Manglayang bersamamu. hehe
Berawal dari sebuah perkenalan di suatu media sosial tentang kesamaan hobby dan akhirnya kami pun sempat bertemu di kota tempat tinggal nya, biasa di panggil namanya teh ninis. Gadis yang tangguh yang menemani perjalanan ku menapaki salah satu gunung yang tersembunyi di kota kembang ini.
Gunung Manglayang – gunung yang disebut-sebut dalam Legenda Sangkuriang. Karena dari legenda tersebut diceritakan bahwa perahu dari Sangkuriang telah terbalik dan berubah menjadi Gunung Tangkuban Perahu; tunggul pohon yang tersisa bekas bahan pembuatan perahu Sangkuriang tetap berdiri menjadi Gunung Bukit Tunggul sedangkan tajuknya atau ranting-rantingnya tergeletak menjadi Gunung Burangrang.
Dalam rangkaian gunung-gunung Burangrang – Tangkuban Perahu – Bukit Tunggul – Gunung Manglayang; Gunung Malanglayang yang mempunyai ketinggian ±1818 mdpl, menjadi gunung yang terendah dari rangkaian ke empat gunung tersebut. Mungkin itulah sebabnya di kalangan para penggiat alam bebas gunung ini sempat terlupakan terkecuali para penggiat alam bebas dari Bandung dan sekitarnya. Namun begitu Gunung Manglayang juga menawarkan pesona alamnya tersendiri.
Gunung ini memiliki cukup banyak jalur pendakian, antara lain; melalui Bumi Perkemahan atau Wanawisata Situs Batu Kuda (Kab. Bandung), Palintang (Ujung Berung, Kab. Bandung), Baru Beureum/Manyeuh Beureum, Jatinangor.
Pemandangannya cukup indah, namun karena relatif kecil, sehingga kurang dikenal oleh pendaki-pendaki gunung pada umumnya.
Kebetulan waktu itu bulan Ramadhan dan kebetulan kami berdua sedang melaksanakan ibadah wajib yaitu puasa di bulan Ramadhan, Sungguh suatu tekad dan nekat dari kami untuk tetap menjalankan ibadah puasa dan mendaki gunung, dan Alhamdulillah puasa kami pun berjalan lancar sampai maghrib. ini pengalaman yang sangat tidak akan pernah terlupakan dalam kisah hidup ku.
Pada kesempatan kali ini saya akan menggambarkan sedikit pendakian melalui jalur Barubereum.
Saat tiba di Kawasan Barubereum terdapat warung makan, untuk jalur pendakian mengikuti jalur berbatu ke arah kiri, sedangkan ke arah kanan yang melewati barisan warung adalah jalur menuju tempat perkemahan. Jalur ini diawali dengan melewati aliran sungai kecil, kemudian dilanjutkan dengan kebun jeruk nipis penduduk. Dari awal pendakian sampai puncak, gunung ini terbilang vertikal tanpa bonus, sangat cocok dijuluki “kecil-kecil cabe rawit”. Kondisi fisik jalur pendakian dimulai dengan tanjakan tanah liat diselingi tanjakan berbatu, keseluruhannya sangat licin dan merupakan jalur air, sehingga sangat tidak direkomendasikan melakukan pendakian pada musim hujan.
Jalur pendakian gunung ini tidak dilengkapi dengan pos/shelter karena jarak dan waktu tempuh yang cukup singkat, 2 jam jalan normal. Untuk lokasi membangun tenda hanya bisa dilakukan di Puncak Bayangan dan Puncak Manglayang. Jalur yang jelas ini akan berpisah di persimpangan, tren vertikal ke kiri adalah arah menuju Puncak Bayangan dan trend landai ke kanan adalah menuju Puncak Manglayang. Untuk membangun tenda sangat direkomendasikan di Puncak Bayangan, meskipun tempatnya tidak luas hanya berkapasitas 4-5 tenda, namun pemandangannya sangat terbuka, serupa seperti berada di Puncak Cikuray.
Titik air gunung ini hanya ada di sungai kecil saat awal pendakian, selebihnya tidak ditemukan sumber air. Sepanjang jalur hutan tropis tidak begitu lebat menjadi santapan yang cukup melindungi pendaki dari panas matahari. Secara personal saya merekomendasikan pendakian pada malam hari, selain tidak panas kita juga dimudahkan dengan tidak melihat langsung terjalnya jalur pendakian.
Turun dari gunung ini juga tidak bisa dibilang mudah, jalur yang kecil dan licin sangat memperlambat mobilitas. Satu hal yang penting dari gunung ini adalah ketika malam hari yang cerah, karena tidak begitu tinggi lampu-lampu kota Bandung terlihat begitu jelas dari Puncak Bayangan. Sedangkan di Puncak Manglayang tidak dapat melihat apapun selain rimbunnya hutan dan 1 kuburan.
Penulis : Wandra Ade Saputra