Gunung Slamet adalah gunung tertinggi ke-2 Pulau jawa, dan tertinggi di Jawa Tengah. Namun akses ke basecamp gunung slamet masih agak susah ditambah minimnya informasi mengenai akses kendaraan menjadikan perjalanan ke atap Jawa Tengah terkesan susah, padahal tidak demikian. Disini saya akan mencoba membagi informasi mengenai akses ke beberapa jalur pendakian gunung slamet. Baca lebih lanjut
Tag Archives: slamet via guci
Double Summit “Merbabu Slamet”
MENAPAKI KEINDAHAN MERBABU ‘Summit#1’
Silaturahim Diatas Ketinggian, Setelah sebulan penuh kami menjalankan ibadah puasa, tibalah saatnya merayakan hari raya Idul Fitri, segala sesuatu telah kami siapkan untuk mudik kekampung halaman, tak lupa satu set perlengkapan tempur ikut menemani jalan menuju kampung halaman tercinta. Hari pertama lebaran diisi dengan silaturahim keluarga, dan dihari kedua saatnya bertemu sahabat – sahabat tercinta diatas ketinggian.
Dalam perjalanan kali ini, sebenarnya kami bimbang antara naik ke slamet dan merbabu, saya sudah membuat janji dengan temen-temen sekampung dan tim opsih di tanggal 18 juli 2015. sedangkan badari mengajak ke merbabu, dari pada bimbang hari kedua lebaran kita menuju salatiga untuk berkumpul. Sehingga temen-temen yang jauh dan yang dikat bisa saling silaturahim diatas ketinggian.
Tersesat Di Jalur Maut, sesuai kesepakatan kami akan berkumpul di rumah riris salatiga, riris adalah temanya badrun, sayapun belum pernah bertemu sebelumnya. Dhimas dari kebumen sudah terlebih dahulu menuju salatiga, saya berangkat dari rumah sendiri dan akan menuju titik kumpul purbalingga. dititik ini ada nisa dari pemalang, mugi, agus dan kurdianto dari purwokerto. rencana kumpul jam 2 namun molor 2 jam. Setelah sholat di masjid pom bensin sebelah polres purbalingga kami berangkat menuju salatiga.
Perlu diketahui dari rombongan kami belum pernah ada yang ke salatiga, dengan modal yakin kita berangkat. Perjalanan bersama sahabat dekat memang mengasikan, setiap ada pom bensin kita menepi layaknya menemukan pos untuk istirahat saat pendakian, hari sudah menjelang malam, jam 18:00 kita sempatkan makan nasi goreng diemperan toko material, tepat di seberang asrama haji wonosobo.
Makan ditepian jalan beralaskan flysheet, sungguh moment yang sangat istimewa. Sangkin senangnya, mas agus numpahin segelas teh hangan dan tepat mengenai handphone mas kurdi, sepontan kami tertawa lepas melihat kejadian itu. Dalam kejauhan salatiga, dhimas sudah sampai di rumah riris, dan badrun yang berangkat sendiri dari kebumen belum beranjak dari kegiatanya. Setelah kami selesai makan, rombongan saya ajak ke masjid agung wonosobo yang terletak tak jauh dari alun alun wonosobo. Masjid penuh kenangan semasa sekolah dulu.
Karena kami sudah ditunggu, selesai sholat kita langsung melanjutkan perjalanan dengan penuh keyakinan, menyusuri tanjakan kearah temanggung, didaerah temanggung kita kembali berhenti, seketika kesedihan melanda kami yang tadinya sorak sorai penuh semangat, tepat disisi kiri terlihat kobaran api yang sangat besar melahap hutan gunung sindoro. Entah karena faktor alam atau pendaki, yang jelas kami sangat prihatin melihatnya.
Perjalanan kami lanjutkan, jalan mulai menurun di daerah parakan, kami sempat berhenti ketika melihat pom bensin, bukan untuk mengisi bensin tentunya, tapi untuk istirahat. Karena kami memang ingin menikmati perjalanan, karena waktu sudah cukup malam, kami melihat jam sudah menunjukan pukul 21:30, kamipun melanjutkan perjalanan dan sampailah di pertigaan secang. Disinilah awal mula kami menemui jalur maut. Karena kami tidak ada yang tau persih arah ke salatiga, saya meminta plastik dan tali ke saudara kurdi, aku masukan hp kedalam plastik lalu saya ikat ke odometer. Taraaannnggg….. kuda besiku sekarang dilengkapi GPS, kamipun jalan mengikuti gps, kami diarahkan kekiri lalu tak jauh dari pertigaan besar kami masuk kekanan, dengan yakin kami melalui jalan yang semakin lama kami arungi, semakain terkesan seram dan sangat sepi.
Ditengah sepinya jalan, kuda besi mulai kehausan, untuk ada pengecer bahan bakar yang masih buka, kamipun mengisi bahan bakar sambil bertanya kepada abang tukang bensin. Begini ceritanya:….
Saya : “Pak sekalian mau nanya, kalau mau ke kopeng bisa lewat sini kan?”
Bapak : “Bisa mas, tapi jalanya sepi dan banyak tanjakan.”
Belum sempat saya menjawab, datang seorang ibu dan bertanya,
Ibu: “Mau kemah di gunung andong mas?” ternyata tak jauh disisi kiri adalah gunung andong.
Saya: “Ndak bu, kami mau naik merbabu, ini mau ke salatiga dulu, jalanya benar ini kan Bu?”
Ibu: “ Waduh mas, janggan lewat sini, muter balik aja lewat kota. Jalan disini rawan sekali mas, tanjakanya sangat terjal, belum lama juga ada yang meninggal dijalur ini, kalau mau selamat mending puter balik saja”.
Sontak kami terkejut dengan perkataan ibu, semua setuju untuk putar arah dan mencari jalan yang lebih ramai. Namun saya berfikir, sudah terlalu malam untuk putar arah. Dan lagi menurut gps ini adalah jalan terdekat menuju kopeng, dengan segala pertimbangan saya yakinkan untuk tetap melanjutkan perjalanan ke jalan yang disebut sebagai jalur maut.
Dengan keyakinan kami melaju menyusuri jalan yang sangat sepi dan gelap, track sempit yang menanjak cukup membuat kita khawatir dengan perkataan Ibu tadi. Namun setelah kekhawatiran berlalu, sampailah kami ke jalan utama magelang kopeng, ternyata jalur yang kita lalui adalah jalur alternatif via grabag. Sesampainya di jalur utama, masalah belum selesai karena kami harus mencari tempat tinggal riris dengan patokan pasar sapi. Hampir saja saya kesal dan mau menginap di mushola, terang saja karena saya nelfon sang empunya rumah tapi gak nyambung, yang lucunya lagi ternyata pasar sapi bukan pasar yang jual sapi, namanya doang pasar sapi makanya saya muter-muter gak karuan.
Jauh dijalur grabag, ternyata sohib kita yang paling ganteng dan tidak sombong, rajin menabung, saudara badari sedang mengarungi jalur maut sendirian, padahal saya sudah disuguhi kopi hitam yang diseduh dengan segalon air putih buatan empunya rumah raden ajeng risdiyani sri handayani atau biasa dipanggil “Riris”. Sekitar jam 3 pagi semua anggota baru lengkap dan petualanagan menapaki jembatan setan merbabu dimulai.
Welcome to Chuntel, Tanjakan berdebu yang menyekik nafas.
Pagipun tiba, saatnya packing untuk memulai petualngan, setelah kami sarapan pagi, sambil melambaikan tangan saya menghentikan angkot, setelah beberapa kali nego harga akhirnya kita berangkat ke basecamp pendakian merbabu via chuntel. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di basecamp, kamipun langsung bergegas melakukan registrasi dan menyampaikan bahwa kami akan lintas jalur dan turun lewat jalur selo.
Langkah pertama kita awali dengan jalan beraspal ditengha rumah-rumah penduduk, dalam kejauhan terlihat sebuah pemancar tua yang akan menjadi tujuan pertama kita, itulah area camp via jalur chuntel. Setelah menapaki jalan beraspal, tibalah sambutan hangat yang menanjak dan berdebu pertanda usailah ujung aspal yang memanjakan kami, benar saja baru beberapa menit melangkah nafas terasa tercekik, selain karena track menanjak juga karena debu yang berterbangan membuat kita sulit untuk bernafas normal.
Tanjakan berdebu telah usai, jalan dilanjutkan belokan kekiri lalu kekanan menanjak, setelah belokan kanan terliatlah bangunan sederhana yang sangat menggembirakan, dan akhirnya belum satu jam kita berjalan, kompor dan nesting sudah meloncat keluar tas menyuguhkan air hangat tandan tiba saatnya kita ngopi. Kami memang suka sekali ngebrake, karena puncak bukanlah tujuan utama kami, tujuan kami hanyalah kebersamaan. Setelah acara ngopi selesai, kita melanjutkan perjalanan, setapak demi setapak kita lalui dengan penuh ngos-ngosan, hehehe…. sampai akhirnya kita tiba di tanah luas yang bertuliskan pos 2, tanpa ragu tim juru masak langsung mengeluarkan alat perangnya dan kitapun istirahat panjang untuk shalat, makan dan mager.
Tak terasa hari semakin sore dan kita masih jauh dari target area camp yaitu pemancar, kami semakin mempercepat langkah meskipun tidak pernah berhasil, diperjalanan kita bertemu dengan trio cirebon, kak ayu, kak umar, dan kak umam. Mereka kenal dengan cici, temen kita yang super duper rame, dan disitulah kita mulai saling tukar cerita, meski hanya cerita masak mie goreng yang direbus. Perjalanan kami lanjutkan kembali, menyusuri track yang tidak terlalu curam namun tetap menguras tenaga. Karena hari sudah semakin sore, kamipun dimanjakan dengan keindahan sunset disisi barat jalur pendakian. Narsis manispun dilakukan diiringi tawa riang sahabat-sahabat terbaik.
Menapakai Tanjakan Terjal ditengah Kegelapan,
Meski lirih, suara adzan maghrib cukup terngiang ditelinga, kamipun berhenti sejenak untuk melaksanakan kewajiban. Setelah selesai, perlengapan perang dimalam hari kami siapkan, berbekal senter kecil kami melanjutkan perjalanan, dari tempat kami beristirahat track sedikit landai, namun jarak pandang terhalang oleh semak belukar yang cukup tinggi. Kamipun menjumpai lahan datar yang luas tempat untuk berkemah, namun bukan tempat ini yang kami tuju, karena tujuan kami jauh diatas sana, samar namun sedikit terlihat diantara gelapnya malam, track yang menanjak dan membuat kami malas untuk menapakinya.
Namun dengan semangat 45 kamipun menapakinya dengan sabar, track menanjak yang panjang cukup menyulitkan kami, palagi temen baru kita riris kurang bersahabat dengan cuaca dingin, dan satulagi temen wanita kita nisa sudah terkuras tenaganya sehingga harus ditarik menggunakan weebing, diantara gelapnya malam saat kami berhenti sempat kita bercerita tentang cinta, dan begini ceritanya:………
“Cinta itu ada tiga, Cinta yang pertama adalah Eros, Eros adalah rasa ingin memiliki, rasa yang lebih cenderung ke romantisme serta ketertarikan kepada lawan jenis. Yang kedua adalah Philia atau rasa kasih, seperti kasih kita kepada keluarga, rasa yang timbul bukan atas dasar kepentingan nafsu semata, seperti kasih kita kepada keluarga, dan yang ketiga adalah Agape atau sayang, ini adalah cinta yang paling tinggi kedudukanya, cinta yang tumbuh walaupun kita tak pernah bertenu dengan yang kita cintai, seperti cinta kita kepada Allah SWT,”
Sungguh cerita singkat yang penuh dengan kenangan, karena diceritakan ditengah jalur menanjak, diiringi udara dingin khas pegunungan dan ditambah gelap malam yang begitu mesra.
on process by admin